Dua dosen Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi, Prof. Dr. Syafwan Rozi, M.Ag dan Dr. Zulfan Taufik, MA.Hum, sukses mempresentasikan hasil riset mereka dalam ajang internasional bergengsi, 8th Conference on Human Rights, yang digelar pada 12–13 Agustus 2025 di Surabaya.
Konferensi ini mengangkat tema “Protecting Human Rights in Asia amid Energy Transition, Technological Disruption and Democratic Regression”, dan diselenggarakan melalui kolaborasi antara Sydney Southeast Asia Centre (SSEAC) dan School of Law, the University of Sydney—salah satu universitas ternama dunia yang menduduki peringkat ke-41 QS World University Ranking—bersama Universitas Airlangga (UNAIR) dan Universitas Jember (UNEJ). Kegiatan ini juga melibatkan sejumlah mitra seperti Australian Consulate General in Indonesia, Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), dan Indonesian Scholar Networ for Freedom of Religion or Belief (ISFORB).
Partisipasi kedua dosen FUAD ini menjadi sorotan karena mereka mengangkat isu-isu berbasis realitas lokal yang relevan dengan diskursus global tentang hak asasi manusia dan kebebasan beragama. Topik yang mereka bawa menekankan pentingnya perspektif kultural dalam membicarakan HAM, terutama di tengah meningkatnya kompleksitas sosial di Asia.
Dalam sesi presentasinya, Prof. Dr. Syafwan Rozi membawakan makalah berjudul “Reorientation of Mentawai Youth in Fighting for the Local Religion of the Arat Sabulungan Tradition.” Paparannya menyoroti strategi baru generasi muda Mentawai dalam mempertahankan kepercayaan lokal Arat Sabulungan. Penelitian ini mengungkap bagaimana para pemuda tidak lagi hanya mengandalkan ritual dan praktik tradisional, tetapi juga memanfaatkan jalur hukum, jaringan organisasi sipil, serta media digital untuk memperkuat eksistensi kepercayaan leluhur mereka.
Syafwan menekankan bahwa gerakan ini merupakan bentuk perlawanan kultural yang kreatif terhadap kebijakan negara yang seringkali meminggirkan agama dan kepercayaan di luar kategori resmi. Lebih jauh, ia menyoroti peran pemuda sebagai agen perubahan yang adaptif, yang mampu menggabungkan identitas tradisional dengan tuntutan modernitas. Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi kajian pluralisme agama dan HAM di Asia Tenggara, terutama dalam konteks pengakuan hak masyarakat adat.
Sementara itu, Dr. Zulfan Taufik mempresentasikan riset berjudul “Artistic Activism and Religious Freedom: Youth-Led Cultural Movement in West Sumatra.” Dalam paparannya, Zulfan mengulas fenomena aktivisme seni yang dilakukan komunitas pemuda lintas iman di Sumatera Barat. Mereka menggunakan berbagai bentuk seni—seperti musik, puisi, lukisan, gastronomi, dan pertunjukan budaya—sebagai medium advokasi kebebasan beragama.
Dalam diskusi, Zulfan menjelaskan bahwa pendekatan ini bukan sekadar ekspresi estetika, tetapi strategi politik kultural yang mampu menciptakan ruang aman (safe space) untuk membicarakan isu-isu sensitif seperti toleransi, hak minoritas, dan keragaman. Ia menegaskan bahwa seni memungkinkan pesan-pesan tentang kebebasan beragama tersampaikan dengan cara yang inklusif dan tidak konfrontatif. Penelitian ini memperlihatkan bagaimana kreativitas dapat menjadi instrumen efektif untuk membangun harmoni sosial dan memperkuat hak-hak kebebasan di tengah meningkatnya konservatisme agama.
Kedua presentasi ini mendapat perhatian peserta karena menampilkan studi kasus yang kaya dari Indonesia, sebuah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, namun juga memiliki tradisi pluralisme yang kuat. Perspektif lokal ini menjadi sangat relevan ketika isu kebebasan beragama di Asia seringkali dibicarakan dalam kerangka legalistik yang kurang mempertimbangkan dimensi sosial dan kultural.
Lebih dari sekadar forum berbagi riset, keikutsertaan dua dosen FUAD ini menjadi langkah strategis untuk memperluas jejaring akademik internasional dan menjajaki kerja sama riset dengan universitas-universitas terkemuka dunia. Forum ini dihadiri peneliti, akademisi, dan praktisi HAM dari berbagai negara yang bersama-sama membahas tantangan HAM di Asia, khususnya di tengah gejala kemunduran demokrasi dan perubahan sosial yang cepat.
Dengan kontribusi ini, UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi menunjukkan komitmennya untuk terus berperan dalam percakapan akademik global. Kehadiran dosen-dosen FUAD di panggung internasional tidak hanya membawa nama baik institusi, tetapi juga menegaskan bahwa perguruan tinggi Islam di Indonesia mampu menghasilkan riset yang relevan dan kompetitif.
Partisipasi mereka juga memperlihatkan bahwa penelitian berbasis lokal bukan sekadar cerita pinggiran, tetapi justru kunci untuk memahami dan merumuskan strategi HAM yang lebih inklusif dan kontekstual. Melalui pengalaman Mentawai dan Sumatera Barat, kedua dosen ini menghadirkan narasi alternatif yang memperkaya wacana global tentang keberagaman, kebebasan beragama, dan hak-hak minoritas.
Dengan selesainya 8th Conference on Human Rights ini, tantangan berikutnya adalah melanjutkan energi akademik dari forum ini ke dalam bentuk kolaborasi konkret, baik dalam penelitian bersama, publikasi internasional, maupun advokasi berbasis bukti untuk memperkuat perlindungan HAM di Indonesia dan Asia.