Bukittinggi, 6 Oktober 2025 – Fakultas Ushuluddin, Adab, dan Dakwah (FUAD) UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi kembali menggelar Studium Generale di awal semester ganjil tahun akademik 2025/2026 dengan mengangkat tema besar “Menjadi Muslim Moderat: Jalan Tengah untuk Keberagaman Indonesia.” Kegiatan ini dilaksanakan secara virtual melalui platform Zoom Meeting, dan diikuti oleh seluruh mahasiswa FUAD dari delapan program studi pada jenjang sarjana (S1), magister (S2), dan doktor (S3).
Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber nasional yang dikenal luas dalam wacana dan praktik moderasi beragama di Indonesia, yakni Prof. Arif Zamhari, Ph.D., Guru Besar sekaligus Kepala Pusat Moderasi Beragama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Prof. Dr. M. Abdun Nasir, Ph.D., Guru Besar UIN Mataram yang banyak menulis tentang Islam, pluralisme, dan relasi antaragama. Acara dipandu dengan apik oleh Muhammad Fajri, M.Sos., dosen FUAD yang berperan sebagai moderator.
Studium Generale ini dibuka secara resmi oleh Dekan FUAD, Prof. Dr. Syafwan Rozi, M.Ag., yang dalam sambutannya menegaskan bahwa penguatan moderasi beragama adalah bagian integral dari visi akademik UIN Bukittinggi sebagai universitas Islam yang berkarakter kebangsaan dan berwawasan global.
“Moderasi beragama bukan sekadar isu kontemporer, tetapi merupakan nilai dasar yang menghidupkan cara berpikir ilmiah, etika sosial, dan spiritualitas mahasiswa. Sebagai insan akademik, kita tidak cukup menjadi Muslim yang baik, tetapi juga harus menjadi Muslim yang mampu berdialog, menghargai perbedaan, dan berperan aktif dalam membangun perdamaian,” ujar Prof. Syafwan Rozi.
Dalam sesi pertama, Prof. Arif Zamhari, Ph.D. menyampaikan paparan berjudul “Strategi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam dalam Membangun Generasi Muslim Moderat.” Ia menjelaskan bahwa konsep moderasi beragama sejatinya bukanlah hal baru dalam Islam, melainkan refleksi dari prinsip ummatan wasathan (umat pertengahan) yang disebut dalam Al-Qur’an. Namun, tantangan di era digital membuat pemaknaan moderasi sering kali terdistorsi oleh arus informasi yang ekstrem, politisasi agama, dan fragmentasi sosial di ruang maya.
Lebih jauh, Prof. Arif menekankan pentingnya peran perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI) dalam memperkuat pendidikan moderasi melalui tiga jalur: kurikulum, budaya akademik, dan keteladanan sivitas akademika. Ia menjelaskan bahwa pembelajaran di kampus tidak boleh berhenti pada tataran kognitif, tetapi juga harus menyentuh ranah afektif dan praksis sosial.
“Mahasiswa tidak bisa hanya menjadi konsumen pengetahuan agama. Mereka harus menjadi produsen nilai yang menebarkan kebaikan dan toleransi. Moderasi beragama harus dihidupi, bukan sekadar dipelajari,” tegasnya.
Menurutnya, strategi penting dalam membangun generasi moderat adalah menciptakan ruang diskusi yang aman untuk perbedaan, mendorong penelitian lintas disiplin, dan memperkuat literasi digital keagamaan agar mahasiswa mampu memilah informasi yang benar dan konstruktif. Ia mencontohkan berbagai inisiatif yang telah dilakukan oleh Pusat Moderasi Beragama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, seperti pelatihan peace educators, riset kolaboratif lintas iman, hingga program moderate youth ambassadors yang melibatkan mahasiswa dari berbagai daerah di Indonesia.
Sesi kedua dilanjutkan oleh Prof. Dr. M. Abdun Nasir, Ph.D. dengan tema “Merawat Kerukunan di Masyarakat Multikultural: Praktik Moderasi Beragama dari Perspektif Lapangan.” Dalam paparannya, beliau menyoroti bagaimana moderasi beragama seharusnya tidak berhenti di ruang kuliah, melainkan diwujudkan dalam bentuk tindakan sosial di tengah masyarakat. Berdasarkan pengalamannya dalam penelitian lintas daerah, Prof. Abdun menemukan bahwa praktik moderasi tumbuh subur di komunitas yang memiliki trust sosial tinggi, budaya dialog yang kuat, dan figur pemimpin agama yang berwawasan terbuka.
Ia mengingatkan bahwa moderasi beragama bukan berarti relativisme atau mengaburkan kebenaran teologis, melainkan sikap aktif dalam menjaga keseimbangan antara komitmen terhadap keyakinan sendiri dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain.
“Dalam konteks Indonesia yang majemuk, menjadi Muslim moderat berarti memiliki kemampuan untuk menegakkan prinsip keislaman yang kokoh tanpa kehilangan empati terhadap perbedaan,” ujar Prof. Abdun Nasir.
Beliau juga menyoroti peran mahasiswa dalam mengaktualisasikan nilai-nilai moderasi melalui kegiatan sosial, riset lapangan, hingga karya kreatif yang menumbuhkan budaya damai. Menurutnya, kampus harus menjadi miniatur masyarakat multikultural yang menghormati keberagaman etnis, mazhab, dan pandangan keagamaan.
“Kita perlu membangun empati lintas identitas, sebab tanpa empati, moderasi hanya akan menjadi jargon akademik tanpa daya transformasi,” tambahnya.
Diskusi interaktif yang berlangsung setelah kedua pemaparan itu menunjukkan antusiasme luar biasa dari peserta. Mahasiswa menanyakan isu-isu aktual seperti bagaimana menghadapi ujaran kebencian di media sosial, bagaimana membangun dialog lintas iman di lingkungan kampus, dan bagaimana posisi mahasiswa dalam menjaga kerukunan di tengah meningkatnya politik identitas. Kedua narasumber memberikan jawaban yang reflektif dan inspiratif, menekankan pentingnya keberanian untuk berpikir kritis sekaligus berempati.
Acara kemudian ditutup secara resmi oleh Wakil Dekan I Bidang Akademik dan Kelembagaan, Dr. Zulfan Taufik, MA.Hum., yang menyampaikan apresiasi kepada kedua narasumber dan seluruh peserta yang telah berpartisipasi aktif.
“Studium Generale ini bukan hanya ajang transfer pengetahuan, tetapi juga ruang refleksi bagi sivitas akademika FUAD untuk meneguhkan komitmen terhadap nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan yang menjadi inti dari moderasi beragama,” ungkap Dr. Zulfan.
Kegiatan ini menegaskan komitmen FUAD UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi untuk terus menjadi ruang akademik yang mendorong dialog lintas pemikiran dan pembentukan karakter mahasiswa yang inklusif, toleran, dan berkeadaban. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang plural, kegiatan seperti ini menjadi penting untuk memperkuat peran kampus dalam mencetak intelektual Muslim yang mampu menjadi bridge builder bagi perdamaian dan keberagaman bangsa. (Humas)