Bukittinggi (28 Oktober 2025) – Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi menyelenggarakan Kuliah Umum bertema “Ekofeminisme sebagai Jalan Membaca Ekoteologi: Relasi Tubuh, Alam, dan Iman” pada Selasa, 28 Oktober 2025, di Aula FUAD. Acara ini menghadirkan narasumber nasional, Dr. Phil. Dewi Candraningrum, seorang akademisi, penulis, dan aktivis ekologi yang dikenal konsisten membangun kesadaran ekofeminisme dan spiritualitas ekologis di Indonesia. Kuliah umum dimoderatori oleh Dosen Muda FUAD, Khairul Amin, M.Phil., dan dihadiri dosen dan mahasiswa lintas program studi FUAD, mulai level sarjana, magister, sampai doktoral.
Dalam sambutan pembukaannya, Dekan FUAD, Prof. Dr. Syafwan Rozi, M.Ag., menegaskan bahwa krisis ekologi yang melanda dunia saat ini sesungguhnya merupakan ujian spiritual dan peradaban yang menuntut respon teologis. Beliau menyatakan bahwa fakultas tidak boleh berdiri hanya sebagai institusi akademik yang pasif terhadap perubahan global, tetapi harus tampil sebagai pusat lahirnya gagasan baru yang menyatukan nilai iman, keadilan sosial, dan keberlanjutan bumi. “Ekofeminisme bukan sekadar aliran teori, tetapi cermin dari spiritualitas profetik yang berpihak pada kehidupan dan menolak segala bentuk penindasan terhadap alam dan manusia,” ungkapnya. Dekan juga mendorong mahasiswa menjadikan kuliah ini sebagai pintu masuk untuk merumuskan paradigma baru dalam membaca realitas, serta sebagai inspirasi lahirnya penelitian ilmiah berbasis kepedulian ekologis.

Dalam pemaparannya, Dr. Dewi Candraningrum menjelaskan bahwa ekofeminisme lahir dari kesadaran akan keterhubungan antara penindasan terhadap perempuan dan eksploitasi terhadap alam. Ia menguraikan bahwa akar krisis ekologis di Indonesia berkelindan dengan paradigma pembangunan yang masih bersifat ekstraktif dan antropocentris—yang menempatkan keuntungan ekonomi di atas keberlanjutan ekosistem dan keadilan gender. “Kita hidup dalam sistem yang sering mengabaikan kerja-kerja perawatan dan keberlanjutan hidup, padahal keduanya menjadi fondasi dari peradaban,” jelasnya.
Dalam sesi berikut, Dewi juga menyinggung pentingnya ekonomi perawatan (care economy)—yakni pengakuan terhadap kerja-kerja domestik dan sosial yang menopang kehidupan, tetapi sering tidak terlihat dalam logika ekonomi kapitalesme. Ia mengekplorasi bagaimana kurangnya pengakuan terhadap pekerjaan perawatan, serta perlunya kebijakan yang lebih adil dan inklusif bagi perempuan pekerja, petani, dan nelayan yang menghadapi dampak langsung perubahan iklim. “Perawatan adalah kerja yang menopang dunia, dan keadilan ekologis tidak mungkin terwujud tanpa keadilan perawatan,” tambahnya.
Selain itu, Dewi juga menyoroti pentingnya dekolonisasi dalam membaca ulang relasi antara manusia, alam, dan iman. Ia menjelaskan bahwa cara pandang modern yang diwariskan oleh kolonialisme telah memisahkan tubuh dari alamnya dan dari spiritualitasnya; dan menjadikan alam semata objek eksploitasi ekonomi. Dalam perspektif ekofeminisme, dekolonisasi berarti memulihkan kembali pengetahuan dan cara mengetahui yang berakar pada pengalaman, keberagaman lokal, dan kebijaksanaan perempuan, termasuk pengetahuan ekologis masyarakat adat. Dengan demikian, dekolonisasi bukan sekadar kritik terhadap warisan kolonial, tetapi juga upaya merestorasi hubungan yang setara antara manusia dan bumi.

Kuliah ini semakin mendalam ketika narasumber memaparkan studi kasus krisis ekologis di Indonesia, mulai dari konflik agraria, kerusakan hutan, hingga peran perempuan adat dalam menjaga pengetahuan ekologis lokal. Ia menunjukkan bahwa perempuan bukan hanya korban, tetapi pelaku transformasi kultural dan spiritual dalam merespon krisis ekologis. Gerakan perempuan di berbagai daerah, seperti petani Kendeng dan komunitas adat di Surakarta, dijelaskan sebagai bentuk ekoteologi praksis yang menggabungkan iman, rasa keterhubungan dengan tanah, dan aksi perlawanan ekologis.
Pada penghujung sesi, acara dilanjutkan dengan bedah buku singkat “Nanam, Ngaji, Ngelmu: Pesantren dan Politik Ekologi Pascakolonial” oleh Mardian Sulistyati. Bedah buku ini mengungkap bagaimana pesantren—yang selama ini dikenal sebagai pusat pembentukan moral—sesungguhnya memiliki potensi besar sebagai ruang peradaban ekologis. Dalam buku tersebut, pesantren digambarkan bukan hanya sebagai tempat mengaji teks, tetapi juga tempat menyemai benih kehidupan melalui tradisi bercocok tanam, merawat tanah, dan membangun spiritualitas ekologis berbasis tauhid.
Acara ditutup oleh Wakil Dekan I, Dr. Zulfan Taufik, yang menyampaikan apresiasi mendalam kepada narasumber dan seluruh peserta. Dalam penutupannya, beliau menekankan bahwa kuliah ini telah membuka kesadaran baru tentang bagaimana kajian Ushuluddin, Adab, dan Dakwah tidak boleh terlepas dari problem kemanusiaan dan ekologis kontemporer. “Kita tidak hanya belajar tentang iman dalam batas ruang teologis, tetapi iman yang bergerak, iman yang menumbuhkan bumi, dan iman yang menghidupkan harapan,” ujarnya.
Melalui kuliah umum ini, FUAD UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi menunjukkan komitmennya dalam membangun paradigma keilmuan Islam yang responsif terhadap zaman, berakar pada nilai profetik, dan berpihak pada keberlangsungan bumi sebagai rumah bersama seluruh makhluk ciptaan Tuhan.


