Yudisium Angkatan ke-11 Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi menghadirkan pesan mendalam melalui orasi ilmiah yang disampaikan oleh Dr. Gazali, M.Ag. Dalam kesempatan tersebut, ia menekankan bahwa ilmu pengetahuan dalam tradisi Islam bukan sekadar perolehan akademik, tetapi sarana peningkatan martabat manusia, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an bahwa Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Menurutnya, ayat tersebut bukan sekadar ungkapan normatif, tetapi panggilan teologis agar para lulusan menghidupkan ilmu sebagai ibadah, mengokohkan karakter, dan mengemban tanggung jawab sosial di tengah masyarakat yang kini menghadapi beragam dinamika keagamaan.
Dr. Gazali menegaskan bahwa masyarakat menaruh harapan besar terhadap lulusan UIN, terutama FUAD, bukan hanya sebagai pembawa pengetahuan agama, tetapi sebagai figur moral dan spiritual yang mampu menghadirkan ketenangan dalam kegaduhan sosial. Lulusan FUAD, baginya, tidak cukup hanya fasih berbicara dan menguasai teori, tetapi harus mencerminkan kedalaman akhlak, keteguhan spiritual, dan konsistensi dalam menjalankan ajaran agama. Menurutnya, karakter inilah yang akan menjadi pembeda lulusan universitas Islam dari sarjana yang lahir dari institusi pendidikan umum.
Orasi ilmiah tersebut menjadi lebih bernas ketika Dr. Gazali mengaitkan pesan moralnya dengan riset yang ia lakukan mengenai modernisasi spiritual dalam jaringan Tarekat Naqsyabandhi Haqqani di Indonesia. Dalam penelitiannya, ia menjelaskan bagaimana tarekat tersebut mampu mempertahankan nilai-nilai tasawuf sekaligus beradaptasi dengan tuntutan modernitas melalui pendekatan inklusif, pembaruan metode dakwah, dan pemanfaatan teknologi digital, termasuk praktik bay‘ah secara daring, kegiatan zikir hybrid, serta ekspansi dakwah ke berbagai wilayah dan lapisan sosial masyarakat.

Penelitian tersebut menunjukkan bahwa spiritualitas dapat bertahan dan bahkan menghadirkan relevansi baru di tengah krisis eksistensial manusia modern. Tarekat ini tidak memosisikan modernitas sebagai ancaman, tetapi sebagai ruang baru bagi pelembagaan ajaran spiritual yang tetap setia pada doktrin inti tasawuf.
Lebih jauh, Dr. Gazali mengingatkan bahwa fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi lulusan FUAD. Jika tarekat dapat membaca perubahan zaman dan menjawab kebutuhan spiritual umat tanpa kehilangan akar ajarannya, maka lulusan universitas Islam pun harus mampu melakukan hal yang sama. Kecakapan intelektual, menurutnya, tidak akan berarti tanpa kedalaman spiritual. Zikir, suluk, dan praktik keagamaan lainnya bukan hanya ritus personal, tetapi sarana pembentukan karakter yang akan menuntun para lulusan dalam menavigasi tantangan etis dan sosial di tengah derasnya arus informasi dan polarisasi makna.
Pada akhirnya, Dr. Gazali menutup orasinya dengan seruan agar para lulusan tidak terjebak dalam euforia gelar akademik. Ilmu, dalam pandangannya, adalah cahaya yang harus dihidupi, bukan simbol yang dipamerkan. Lulusan FUAD ditantang untuk hadir sebagai penjaga nalar keagamaan yang jernih, pembimbing spiritual yang rendah hati, dan agen perubahan yang mampu membawa nilai-nilai Islam ke ruang publik dengan pendekatan yang bijaksana. Dengan demikian, lulusan tidak sekadar menjadi bagian dari masyarakat, tetapi menjadi penerang yang mampu mengubah wajah peradaban dengan ilmu yang bersumber pada iman dan spiritualitas yang matang.


