Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) UIN Syech Djamil Djambek Bukittinggi mengadakan webinar dengan tema “Pendekatan Ma‘nā-cum-Maghzā dalam Penafsiran al-Qur’an” yang diadakan pada (28/11). Pemateri yaitu Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A dari UIN Sunan Kalijaga.
Dekan Fakultas Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) Dr. H. Nunu Burhanuddin, c., M.Ag mengucapkan Tafsir menjadi objek yang paling vital dalam proyek kebangkitan umat Islam di era kontemporer. Karena kitab suci Al-Qur’an adalah pedoman utama kehidupan umat Islam.
Tafsir kontemporer adalah tafsir yang berkembang dengan paradigma dan epistemologi kontemporer. Jika madzhab tradisional (Turats) menyikapi modernitas dengan apriori demi konservasi tradisi, sedangkan madzhab modern (hadatsah) melihat tradisi sebagai sesuatu yang harus ditinggalkan demi kemajuan, maka madzhab kontemporer (Mu’ashirah) merupakan pembacaan kritis terhadap tradisi dan modernitas, sebelum mempertemukan keduanya dalam rangka menjawab problematika kontemporer.
Prof. Dr. Phil. Sahiron, M.A mengatakan bahwa Perlunya Mengembangkan Penafsiran atas al-Qur’an. Mengapa? (1) Perkembangan sains, teknologi dan humaniora; (2) dinamika masyarakat; dan (3) Perlunya perubahan pemikiran dan cara berfikir
Bagaimana menafsirkan al-Qur’an? kombinasi antara ‘Ulum al-Qur’an dan perangkat ilmu kontemporer Ma‘nā-cum-Maghzā Approach.
Pendekatan ‘ma‘nā-cum-maghzā : Pendekatan dimana seseorang berusaha menangkap makna historis/asal (al-ma‘nā al-tārīkhī), yakni makna yang mungkin dimaksud oleh pengarang dan atau dipahami oleh audiens pertama, berusaha menggali signifikansi/pesan utama historis-nya (al-maghzā al-tārīkhī), dan kemudian mengembangkan signifikansi teks tersebut (maghzā) untuk situasi kekinian (waktu dan atau tempat). Signifikansi dinamis kekinian ini disebut dengan al-maghzā al-mutaḥarrik al-mu‘āṣir.
Paradigmanya yaitu (1) Al-Qur’an: wahyu Allah sebagai rahmah bagi manusia dan alam secara keseluruhan; mashālih al-nās wa al- ‘ālam (goodness of human beings and universe). (2) Pesan al-Qur’an itu universal , (3) Universalitas al-Qur’an perlu penafsiran, reaktualisasi dan implementasi (4) Tidak ada pertentangan antara wahyu dan akal sehat (5) Tidak ada naskh, tetapi setiap ayat (atau kumpuluan ayat) memiliki konteksnya sendiri .