Bukittinggi, 4 Desember 2024 – Dengan keberagaman agama, etnis, dan budaya, Indonesia terus menghadapi tantangan dalam menyeimbangkan kebebasan beragama dan kerukunan antarumat. Untuk mendalami isu ini, Pusat Studi AKAL-FUAD UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi bekerja sama dengan PUSAD Paramadina Jakarta menggelar diskusi buku bertajuk Ketegangan Kebebasan dan Kerukunan Beragama di Indonesia: Telaah Sejarah, Politik, dan Hukum. Kegiatan yang berlangsung di Aula Gedung Egypt UIN Bukittinggi ini dihadiri lebih dari 100 peserta dari kalangan akademisi, mahasiswa, dan masyarakat umum.
Buku yang menjadi bahan diskusi ini merupakan hasil kolaborasi PGI, PUSAD Paramadina, ICRS, dan Sekber KBB. Buku tersebut mengupas secara mendalam hubungan antara kebebasan dan kerukunan beragama di Indonesia, dengan pendekatan historis, politik, dan hukum, mulai dari masa kolonial hingga pasca-Reformasi. Analisisnya menyoroti bagaimana kebijakan negara dan praktik sosial membentuk pengelolaan keberagaman agama di Indonesia, sering kali menghadirkan ketegangan antara kebebasan individu dan harmoni sosial.
Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber utama: Ihsan Ali-Fauzi, Ph.D. (Direktur PUSAD Paramadina), Prof. Dr. Silfia Hanani (Guru Besar Sosiologi UIN Bukittinggi), dan Prof. Dr. Syafwan Rozi (Guru Besar Studi Agama-Agama UIN Bukittinggi). Dipandu oleh Dr. Zulfan Taufik, acara dimulai dengan refleksi tentang realitas multikultural Indonesia dan pertanyaan mendasar mengenai dominasi konsep kerukunan beragama dibanding kebebasan beragama dalam wacana publik.
Dalam diskusi, Ihsan menjelaskan bahwa kebebasan beragama, sebagaimana tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945, menekankan hak individu untuk menentukan keyakinannya tanpa intervensi pihak lain. Namun, dalam masyarakat majemuk, kebebasan ini sering bertabrakan dengan kebutuhan menjaga harmoni sosial, yang menjadi landasan konsep kerukunan beragama. Pendekatan kerukunan ini berkembang pesat di era Orde Baru, dengan trilogi kerukunan sebagai strategi stabilitas, meskipun kerap mengorbankan kebebasan individu.
Prof. Silfia menekankan pentingnya kerukunan sebagai tujuan bangsa yang plural. Ia mengingatkan bahwa kerukunan memerlukan dialog dan kompromi, seperti yang ditunjukkan dalam sejarah nasional melalui penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta demi menjaga persatuan. Sementara itu, Prof. Syafwan menyoroti perlunya sintesis antara kebebasan beragama yang menonjolkan hak individu dan nilai-nilai komunal yang mendukung harmoni sosial, terutama di Indonesia yang memiliki budaya kolektivistik.
Diskusi yang berlangsung selama tiga jam ini berlangsung interaktif, dengan peserta aktif berbagi pandangan dan pengalaman terkait isu kebebasan dan kerukunan beragama. Kegiatan ini menjadi ruang refleksi produktif untuk memahami tantangan pengelolaan keberagaman agama di Indonesia, sekaligus mencari solusi untuk mewujudkan harmoni sosial yang adil.
Sebagai bagian dari upaya menciptakan diskursus akademik yang inklusif, acara ini diharapkan mendorong masyarakat Indonesia untuk terus merenungkan pentingnya keseimbangan antara kebebasan beragama dan kerukunan dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman bangsa.