FUAD UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi adakan Studium Generale dengan tema islamic studies di era digital dengan Pemateri Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin, MA. Acara dilaksanakan di gedung serbaguna UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi pada 16 maret 2023. Acara ini diikuti oleh seluruh civitas akademika FUAD.
Dekan Dr. Syafwan Rozi, M.Ag., Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah UIN SMDD Bukittinggi dalam sambutannya mengatakan Kalangan cendekiawan muslim telah menawarkan sejumlah tren pendekatan tafsir di era kekinian, salah satunya Ma’na cum Maghza. Pendekatan tafsir yang ditemukan Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sahiron Syamsuddin, ini merupakan suatu pendekatan yang cukup menjanjikan di era kontemporer. Pemateri kali ini merupakan pakar hermeneutik Indonesia menjelaskan, ma’na cum maghza merupakan hasil racikan sejumlah pemikiran mufassir modern kontemporer. “ini sangat cocok sekali dengan civitas akademika FUAd” tuturnya.
Dr. Asyari, M.Si Wakil Rektor 1 UIN Sjech M. Djamil Djambek Bukittinggi dalam pembukaan kegiatan ini mengatakan Kehadiran teknologi bisa memudahkan mubaligh untuk menyiapkan bahan ceramahnya, tinggal googling saja itu sudah bisa mendapatkan bahan, meskipun secara akademis harus dicari keabsahannya. Ia menyebutkan
Teknologi menjadi kebutuhan saat sekarang ini, sehari-hari kita tidak lepas dari teknologi, untuk itu teknologi seharusnya bisa kita gunakan kepada hal-hal yang positif.
Prof. Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin dalam presentasinya mengatakan pentingnya teknologi saat ini bahkan ia menjelaskan dalam kajian keisalamanpun harus ada kajian-kajian yang berbau teknologi. Ia menekankan hal yang lama tetap diperpegangi, tapi yang baru juga lebih baik.
Ia menuturkan bahwa teori ma’na cum maghza yang ia temukan sebaga bentuk pendekatan baru di mana seorang mufassir berupaya menyelisik makna dan pesan utama saat al-Qur’an diturunkan, kemudian mengembangkan pesan utama tersebut untuk konteks masa kini. Secara sederhana, pendekatan ini berupaya mendialogkan teks dan konteks. Sebagaimana kita ketahui hakikat suatu tafsir adalah menjembatani antara teks yang ‘bisu’ dengan realitas yang terus berkembang tanpa batas.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat kita pahami bahwa tugas pertama seorang mufassir adalah memahami maksud makna suatu ayat dan pesan di dalamnya yang ‘diinginkan’ oleh Allah atau setidaknya yang dipahami oleh bangsa Arab sebagai audiens pertama yang mendapatkan pesan tersebut. Setelah itu, kreativitas intelektual seorang mufassir dituntut untuk mampu mendialogkannya dengan kondisi saat ia menafsirkan.
Untuk mencapai maksud tersebut, dalam buku Pendekatan Ma’na Cum Maghza Atas Al-Qur’an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer Sahiron Syamsuddin mengenalkan tiga aspek yang harus diperhatikan oleh setiap mufassir yang menggunakan pendekatannya. Di antaranya adalah al-ma’na al-tarikhiy (makna historis), al-maghza al-tarikhi (siginifikansi fenomenal historis), al-maghza al-mutaharrik (signifikansi fenomenal dinamis). Ketiga aspek ini masing-masing memiliki tahapan metodis untuk menyingkap maksud yang ditujunya.